Belajar Bahagia Dari Seorang Tukang Becak



Waktu SMA dulu saya punya kenalan beberapa "tukang becak" (istilah untuk abang penarik becak di kota saya). Saya suka menraktir mereka makan mie di Jalan Kawi, setiap kali saya dapat honor menulis novel.

Mereka akrab dengan saya.  Ada dua orang kenalan saya yang unik. Saya memanggil mereka Cak Budi dan Cak Karto. Cak Budi sering mengeluh pada saya. Berapapun yang dia dapat dari hasil "mbecak" seharian, dia lebih suka bilang :

"Gak cukup ini Her, banyak kebutuhan."

Sementara Cak Karto, dengan hasil yang kurang lebih sama, selalu ingin mengajak saya makan. Dia seperti ingin membalas traktiran saya makan mie. Saya lebih sering menolaknya, karena saya tahu dia lebih membutuhkan untuk anak istrinya. 

"Her, kapan nraktir makan mie lagi ?" Kalimat ini yang lebih sering meluncur dari mulut Cak Budi. Cak Karto - seingat saya - tak pernah minta ditraktir. Cak Karto, setiap kali dapat penumpang, malah selalu ingin mengajak saya makan di warung kecil dekat tempat mangkalnya. 

Sebulan biasanya beberapa kali saya mendatangi tempat mangkal mereka. Cak Budi dan Cak Karto sama-sama baik. Merekalah yang membela saya sewaktu saya dikeroyok oleh sekelompok berandal jalanan.

Suatu hari Cak Karto "ngotot banget" mengajak saya makan. Akhirnya saya tak sampai hati lagi menolaknya (waktu itu saya sudah hampir lulus). Kami makan berdua. Nasi pecel. Tapi saya tetap penasaran bertanya : 

"Cak, kenapa gak ditabung aja kalau ada duit lebih ? Atau buat anakmu Cak...? Siapa tahu besok penumpang sepi..."

"Wis ta Her, mangan ae (makan aja). Sesuk wis ono jatahe dewe." (Besok sudah ada jatahnya sendiri).

Saya tak bisa melupakan kegembiraan, juga semburat bahagia di matanya ketika dia bisa menraktir saya makan. Ternyata Cak Karto punya cara sendiri untuk menemukan kebahagiaannya. Dengan cara membalas "nraktir" saya, meski uangnya mepet juga. 

Dan yang lebih penting, Cak Karto menemukan puncak kebahagiaannya ketika dia merasa yakin bahwa setiap hari sudah tersedia rezeki untuknya. Juga ketika dia yakin bahwa Tuhan selalu memeliharanya. Saya belum pernah melihat Cak Karto sebahagia sore itu, ketika kami makan nasi pecel di warung sambil duduk mengangkat kaki. Petingkrangan !

Saya belajar menemukan kebahagiaan dari Cak Karto...

Posting Komentar

0 Komentar